BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkawinan adalah ikatan sakral
penyatuan sepasang anak manusia dengan konsekuensi hak daAn kewajiban yg tidak
mudah. Mengingat tanggung jawabnya yg komplek maka dibutuhka kesiapan dan
kedewasaan usia, mental, spiritual, dan kesiapan ekonom
Perkawinan
bukanlah hal yang mudah, di dilamnya terdapat banyak konsekuensi yang harus
dihadapi sebagai suatu bentuk tahap kehidupan baru individu dewasa dan
pergantian status lajang mjd seorg istri yg menuntut adanya penyesuaian diri
terus menerus sepanjang perkawinan (Hurlock, 1993).
Individu
yang memiliki kesiapan untuk menjalani kehidupan perkawinan akan lebih mudah
menerima dan menghadapi segala konsekuensi persoalan yang timbul dalam
perkawinan (Landis andLandis, 1963).
Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita yang pada
umumnya berasal dari lingkungan yang berbeda terutama dari lingkungan keluarga
asalnya, kemudian mengikatkan diri untuk mencapai tujuan keluarga yang kekal
dan bahagia. Maka dengan adanya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, dan berlakunya secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 yaitu
sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mana dalam pasal 1
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kedewasaan
dalam hal Fisik dan rohani dalam perkawinan adalah merupakan dasar untuk
mencapai tujuan dan cita-cita dari perkawinan, walaupun demikian masih banyak
juga anggota masyarakat kita yang kurang memperhatikan atau menyadarinya. Hal
ini disebabkan adanya pengaruh lingkungan dan perkembangan sosial yang tidak
memadai. Perkawinan tersebut
harus ada
persetujuan, dari kedua belah pihak calon mempelai secara sukarela tanpa ada
paksaan dari pihak lain.
Hal ini demi
kebahagiaan hidup yang diinginkan dalam perkawinan tersebut. Segala sesuatu
yang akan dilaksanakan perlu direncanakan dahulu agar membuahkan hasil yang
baik, demikian pula dengan hidup berkeluarga (perkawinan). Salah satu yang
perlu direncanakan sebelum berkeluarga atau menikah adalah berapa usia yang
pantas bagi seorang pria maupun seorang wanita untuk melangsungkan pernikahan.
Menurut
ketentuan pasal 7 ayat (1) undang-undang no.1 tahun 1974 “bahwa perkawinan itu
hanya di ijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 tahun. Namun dalam ketentuan ayat (2) undang-undang No.1
tahun 1974 menyatakan dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat
meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun wanita. Degan demikian perkawinan usia muda ini
adalah perkawinan yang para pihaknya masih relative muda.
Reproduksi
adalah suatu proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan demi
kelestarian hidup.
Masalah
perkawinan dan kehamilan dini ketidakmatangan secara fisik dan mental. Risiko
komplikasi dan kematian ibu dan bayi lebih besar, kehilangan kesempatan untuk
pengembangan diri remaja. Risiko untuk melakukan aborsi yang tidak aman.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1 Apa itu perkawinan ?
1.2.2 Bagaimana perkawinan usia muda?
1.2.3 Bagaimana perkawinan usia tua ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk memenuhi tugas mata kuliah kesehatan
reproduksi.
1.3.2
Untuk memberikan informasi
terhadap pembaca tentang materi yang
disajikan.
1.4 Adapun
manfaat yang dapat diperoleh dari
penulisan makalah ini, yaitu:
1.4.1
Manfaat bagi penyusun :
Agar penyusun bisa mengembangkannya kepada
orang lain tentang“perkawinan usia muda dan tua”
1.4.2
Manfaat bagi pembaca :
Agar pembaca mendapat ilmu lebih banyak
mengenai “perkawinan usia muda dan tua”
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkawinan
2.1.1
Pengertian perkawinan
Perkawinan
adalah lambang disepakatinya suatu perjanjian (akad) antara seorang laki-laki
dan perempuan (dalam masyarakat tradisional hal itu juga merupakan perjanjian
antar keluarga) atas dasar hak dan kewajiban yang setara antara kedua belah
pihak. Penyerahan diri total seorang perempuan kepada laki-laki. Peristiwa saat
seorang ayah secara resmi menyerahkan anak perempuannya kepada laki-laki untuk
“dipakai” sesuka hati laki-laki itu.
Perkawinan
adalah ikatan batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (UU Perkawinan No 1 tahun 1974).
Tujuan
Perkawinan adalah secara hukum mengesahkan hubungan seksual antara laki-laki
dan perempuan. untuk secara hukum mengatur hak dan kewajiban masing-masing
termasuk di dalamnya pelarangan atau penghambatan terjadinya poligami. Untuk
pendataan dan kepentingan demografi.
Perkawinan
adalah ikatan sakral penyatuan sepasang anak manusia dengan
konsekuensi hak dan kewajiban yang tidak mudah. Mengingat tanggung
jawabnya yang kompleks maka dibutuhkan kesiapan dan kedewasaan usia,
mental, spiritual, dan kesiapan ekonomi.
Perkawinan
bukanlah hal yg mudah, di dalamnya terdapat banyak konsekuensi yang harus
dihadapi sebagai suatu bentuk tahap kehidupan baru individu dewasa
dan pergantian status lajang menjadi seorang istri ygmenuntut adanya
penyesuaian diri terus menerus sepanjang perkawinan (Hurlock, 1993).
Individu
yang memiliki kesiapan untuk menjalani kehidupan perkawinan akan lebih
mudah menerima dan menghadapi segala konsekuensi persoalan yang timbul
dalam perkawinan (Landis and Landis, 1963).
2.1.2 Tujuan
perkawinan
a)
Untuk secara hukum mengesahkan hubungan seksual antara
laki-laki dan perempuan
b)
Untuk secara hukum mengatur hak dan kewajiban
masing-masing termasuk didalamnya pelarangan atau penghambatan terjadinya
poligami
c)
Pengakuan hak hukum anak-anak yang dihasilkan dari
perkawinan tersebut
d)
Untuk pendataan dan kepentingan demografi
2.2 Perkawinan
usia muda
Menurut
UU perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 7 bahwa perkawinan diijinkan bila laki-laki
berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun.Namun pemerintah mempunyai
kebijakan tentang perilaku reproduksi manusia yang ditegaskan dalam UU No 10
tahun 1992 yang menyebutkan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan upaya
penyelenggaraan keluarga berencana,perkawinan diijinkan bila laki-laki
berumur
21 tahun dan perempuan berumur 19 tahun.sehingga perkawinan usia muda adalah
perkawinan yang dilakukan bila pria berumur kurang dari 21 tahun dan perempuan
berumur kurang dari 19 tahun.
2.2.1
Resiko Perkawinan Usia Muda
Konflik
dalam perkawinan usia muda :
1. Masalah
kesehatan reproduksi
2. Segi
ekonomi
3. Kurangnya
kesabaran atau belum matang secara emosi.
4. Kurangnya
persiapan untuk hamil dalam usia muda, juga berkaitan dengan defisiensi
asam folat dalam tubuh.
Akibat
kekurangan asam folat, janin dapat menderita spina bifida atau janin tidak
memiliki batok kepala.
Ibu usia
muda kemungkinan untuk memiliki anak dengan :
1.
berat bayi
rendah.
2.
kurang gizi.
3.
anemia
Ibu muda ini
juga memiliki kemungkinan untuk menderita kanker servik nantinya.
Istri usia
muda sering mengalami kebebasan dan otonomi yang terbatas dan tidak mampu
kompromi mengenai :
1.
relasi,
2.
seksual,
3.
penggunaan kontrasepsi,
4.
kehamilan, dan
5.
hal-hal lain di kehidupan berkeluarga.
Ketidakmampuan
kompromi mengenai penggunaan kondom menempatkan mereka pada posisi rentan untuk
tertular IMS dan HIV/AIDS.
Setelah
menikah, perempuan muda biasanya terpaksa meninggalkan keluarga, teman, dan
lingkungannya untuk pindah ke lingkungan suami. Kehilangan dukungan sosial dan
putus sekolah akan menganggu proses pendidikannya.
Dengan keterbatasan, perempuan akan terisolasi dan sulit menerima informasi
mengenai kesehatan reproduksi. Mereka sering
kali tidak berdaya mengakses pelayanan kesehatan masyarakat.
Mereka juga perlu izin untuk
mendapatkan pelayanan dan umumnya tidak mampu membayar pelayanan kesehatan. Pernikahan
anak adalah pelanggaran hak seksual dan reproduksi
termasuk hak untuk :
1.
Mendapatkan standar tertinggi kesehatan seksual
2.
Bebas dari paksaan, diskriminasi, kekerasan, dan
pelecehan
3.
Relasi seksual yang disepakati bersama
4.
Kehidupan seksual yang aman
5.
Memiliki pasangan dan pernikahannya
6.
Mendapat informasi dan pendidikan mengenai kesehatan
reproduksi
7.
Menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai
jumlah, jarak dan waktu memiliki anak dan mendapat informasi tentang itu
8.
Mendapat pelayanan reproduksi dan seksual
2.2.2 Dampak yang terjadi karena perkawinan usia muda:
1. Kesehatan
perempuan
a)
Kehamilan dini dan kurang terpenuhinya gizi bagi
dirinya sendiri
b)
Resiko anemia dan meningkatnya angka kejadian depresi
c)
Beresiko pada kematian usia dini
d)
Meningkatkan Angka Kematian Ibu (AKI)
e)
Semakin muda wanita memiliki anak pertama, semakin
rentan terkena kanker serviks.
Resiko
terkena penyakit menular seksual
2. Kualitas
anak
a)
Bayi berat lahir rendah (BBLR) sangat tinggi, adanya
kebutuhan nutrisi yang harus lebih banyak untuk kehamilannya dan kebutuhan
pertumbuhan ibu sendiri
b)
Bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang berusia
dibawah 18 tahun rata-rata lebih kecil dan bayi dengan BBR memiliki kemungkinan
5-30x lebih tinggi untuk meninggal
3.
Keharmonisan keluarga dan perceraian
a)
Banyaknya pernikahan usia muda berbanding lurus dengan
tingginya angka perceraian.
b)
Banyaknya kasus perceraian merupakan dampak dari
mudanya usia pasangan bercerai ketika memutuskan untuk menikah.
c)
Perselingkuhan.
d)
Ketidakcocokan hubungan dengan orang tua maupun
mertua.
e)
Psikologis yang belum matang, sehingga cenderung labil
dan emosional.
f)
Kurang mampu untuk bersosialisasi dan adaptasi.
2.2.3 Upaya
pencegahan terjadinya pernikahan usia muda
a)
Undang-undang perkawinan
b)
Bimbingan kepada remaja dan menjelaskan tentang sex
education
c)
Memberikan penyuluhan kepada orang tua dan masyarakat
d)
Bekerja sama dengan tokoh agama dan masyarakat
e)
Model desa percontohan pendewasaan usia perkawinan
2.2.4 Penanganan perkawinan usia muda :
a)
Pendewasaan usia pernikahan sehingga kehamilan pada
waktu usia reproduksi sehat.
b)
Bimbingan psikologis, hal ini dimaksudkan untuk
membantu pasangan dalam menghadapi persoalan-persoalan agar mempunyai cara
pandang dengan pertimbangan kedewasaan, tidak mengedepankan emosi.
c)
Dukungan keluarga. Peran keluarga sangat banyak
membantu keluarga muda baik dukungan berupa material maupun non material untuk
kelanggengan keluarga, sehingga lebih tahan terhadap hambatan-hambatan yang
ada.
d)
Peningkatan kesehatan dengan peningkatan pengetahuan
kesehatan, perbaikan gizi bagi istri yang mengalami kurang gizi.
2.3 Perkawinan usia tua
Perkawinan
usia tua adalah perkawinan yang dilakukan bila perempuan berumur lebih dari 35
tahun.
2.3.1 Alasan pernikahan usia tua :
a)
Karir. Karir adalah faktor penentu utama kenapa
seseorang memutuskan untuk menikah pada usia yang relative sudah matang,
sekarang ini banyak perusahaan memakai persyaratan khusus untuk masuk menjadi
karyawan misalnya dengan status harus masih single, hal ini sangatlah mudah
terutama bagi mereka yang memang menginginkan suatu pekerjaan tertentu sehingga
tanpa mereka sadari mereka telah melewatkan masa – masa yang tepat untuk mereka
bereproduksi.
b)
Pendidikan. Faktor kedua adalah pendidikan, biasanya
orang dengan pendidikan tinggi cenderung menikah bukan pada saat usia masih
muda karena cara berpikir mereka tidak lagi sama dengan orang – orang yang
masih menganggap bahwa wanita segera menikah.
c)
Ingin mendapatkan pasangan yang ideal. Faktor lain
yang tidak kalah menarik adalah sebagian besar dari mereka menginginkan
pasangan yang ideal atau memiliki derajat yang seimbang atau bahkan jika bagi
sebagian perempuan penghasilan laki-laki harus lebih tinggi dari perempuan
karena suatu saat mereka harus mencukupi kebutuhan istri dan anak-anak. Sedang
pihak laki-laki berpikir mereka akan mencari pasangan yang lebih muda.
2.3.2 Kelebihan perkawinan usia tua :
a)
Kematangan fisik. Secara fisik karena usia yang sudah
tua maka alat – alat reproduksi mereka sudah siap atau sudah matang jika
terjadi adanya pembuahan, namun hal ini juga menjadi sebuah dilemma tersendiri
dimana semakin tua usia seseorang maka secara fisik mereka juga akan mengalami
perubahan – perubahan fisiologis.
b)
Kematangan psikologis. Diawal telah dibahas bahwa
secara psikologis seorang anak remaja dan dewasa memiliki tingkatan yang
berbeda sehingga hal ini bisa menjadi modal dasar untuk membangun sebuah
c)
keluarga karena mereka sudah siap dengan perkawinan
itu sendiri.
d)
Social
e)
Financial sehingga harapan membentuk keluarga
sejahtera berkualitas terbentang.
2.3.3 Kekurangan pernikahan usia tua:
a. Meningkatkan
angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi.kemungkinan atau resiko terjadi CA
mamae meningkat .
b. Meningkatnya
resiko kehamilan dengan anak kelainan bawaan,misalnya terjadi kromoson non
disjunction yaitu kelain meiosis basil konsepsi (fetus)sehingga menghasilkan
kromoson sejumlah 47.aneuploidy,yaitu ketika kromoson basil konsepsi tidak
tepat 23 pasang.
Contohnya
trisomi 21 (down syndrome).trisomi 13(patau syndrome) dan trisome 18 (edwards
syndrome).
2.3.4 Pencegahan perkawinan usia tua:
a)
Penyuluhan kesehatan untuk menikah pada usia
reproduksi sehat.
b)
Merubah cara pandang budaya atau cara pandang diri
yang tidak mendukung.
c)
Meningkatkan kegiatan sosialisasi.
2.3.5 Penanganan perkawinan usia tua :
a)
Pengawasan kesehatan, ANC secara teratur pada tenaga
kesehatan.
b)
Peningkatan kesehatan dengan peningkatan pengetahuan
kesehatan, perbaikan gizi bagi istri yang mengalami kurang gizi.
c)
2.4 kasus
perkawinan usia muda dan tua
2.4.1 Perkawinan Syekh puji dan lutfiana ulva
Pujiono Cahyo Widianto seorang
laki-laki kelahiran 4 Agustus 1965 yang saat ini telah berusia 43 tahun yang
lebih di kenal dengan sebutan Syekh Puji, pemilik Perusahaan Pengrajin Kuningan
PT.Sinar Lendoh Lestari (SILENTER) juga sebagai pemilik Pondok Pesantren
Miftahul Jannah telah menikahi seorang gadis di bawah umur yaitu Lutfiana Ulfa
yang saat ini baru berusia 12 tahun. Setatus Lutfiana Ulfa yang di nikahi oleh
Syekh Puji adalah istri ke dua dari Syekh Puji, pernikahanya dengan Ulfa telah
di langsungkan pada tanggal 8 Agustus 2008 yang berlangsung pada pukul 03.03
dini hari, dan di langsungkan secara agama. Selain Lutfiana Ulfa Syech Puji
berencana akan menikahi 2 orang gadis di bawah umur lagi yang masih berusia 7
dan 9 tahun. Alas an pernikahan yang di lakukan oleh Syekh Puji karena tidak
melanggar Hukum Islam, serta akan mendidik istrinya untuk di persiapkan menjadi
Manager di perusahaanya yaitu PT.SILENTER, Syekh Puji beranggapan bahwa akan
sangat mudah untuk
mendidik anak kecil agar dapat di
persiapkan menjadi Manager Perusahaanya. Dasar agama yang di kemukakan oleh
Syekh Puji untuk menikahi Ulfa adalah di karenakan Nabi Muhammad dahulu juga
menikahi seorang anak di bawah umur, yang saat itu berusia 7 tahun dan bernama
Aisyah. Pernikahan Syekh Puji yang tidak wajar tersebut mendapat kecaman dari
banyak pihak serta di anggap telah
melanggar 2 Undang-undang yaitu UU
perkawinan 9UU No 1 Tahun 74) serta UU Perlindungan Anak (UU No 23 Tahun 2002).
Karena tindakan tersebut merupakan tindakan melawan hokum Ketua Komnas
Perlindungan Anak, Seto Mulyadi atau akrab di panggil Kak Seto bertemu dengan
Syekh Puji pada tanggal 28 Oktober 2008, hasil dari pertemuan tersebut adalah kesediaanya
Syekh Puji untuk mengembalikan Ulfa kepada Orang Tuanya serta membatalkan
pernikahanya dengan Ulfa. Tindakan yang di lakukan oleh Syekh Puji jelas akan
merugikan Ulfa sebagai anak di bawah umur, pendapat pakar di bidang medis
Dokter Specialis Obstetri dan Ginekologi dr.Derajat Mucharram
Sastrawikarta.Sp.Og menyatakan bahwa, pernikahan dengan anak perempuan yang
berusia antara 9 sampai dengan 12 tahun sangat tidak lazim, di karenakan
kematangan Fisik seorang anak tidak sama dengan kematangan Psikologinya,
sehingga walaupun anak tersebut telah Menstruasi, secara mental ia belum siap
untuk dapat berhubungan seksual, kehamilan pun dapat saja terjadi pada anak
berusia 12 tahun tetapi selai psikologinya belum siap, kemungkinan lain akan
mempengaruhi janin yang di kandungnya, posisi bayi tidak akan lurus di perut
ibunya, selain itu sel telur yang di miliki anak-anak belum matang sepenuhnya,
serta belum dapat di katakana berkwalitas yang di khawatirkan dapat menimbulkan
kelainan kromosom pada bayi yang akan berakibat ketidak normalan fisik bayi.
Banyaknya hal-hal yang merugikan yang akan timbul dari pernikahan seorang yang
masih di bawah umur manjadi pertimbangan yang harus di perhatikan oleh
masyarakat maupun LSM yang bergerak di bidang perlindungan Hak Anak.
Analisis Hukum
DI PANDANG DARI UU NO 23 TAHUN 2002
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
Lutfiana Ulfa sebagai wanita yang di nikahi oleh Syekh puji untuk di jadikan Istri ke dua dalam UU Perlindungan Anak masih di kategorikan sebagai Anak. Hal tersebut dapat di lihat dalam Pasal 1 ayat 1 UU No 23 tahun 2002 yang berbunyi
Lutfiana Ulfa sebagai wanita yang di nikahi oleh Syekh puji untuk di jadikan Istri ke dua dalam UU Perlindungan Anak masih di kategorikan sebagai Anak. Hal tersebut dapat di lihat dalam Pasal 1 ayat 1 UU No 23 tahun 2002 yang berbunyi
“Anak adalah seorang yang belum
berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan” telah sangat jelas
di sebutkan batasan umur dari seorang yang belum di nyatakan dewasa, dan masih
di pandang sebagai Anak, yaitu seorang yang belum berusia 18 tahun, sesuai
dengan yang di tetapkan dalam UU ini.
Di dalam pasal 4 di sebutkan bahwa :
“setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” hal ini adalah dasar, bagaimana
hak seorang anak harus di utamakan sesuai dengan porsinya tanpa di halangi
dengan hal apapun. Pernikahan yang di langsungkan terhadap seorang anak, akan
membatasi gerak anak tersebut, yang di sebabkan adanya ikatan perkawinan,
walaupun pihak suami tidak membatasi pergerakan anak yang telah di nikahinya
label yang telah tertanam di mata teman-teman sebaya anak tersebut akan di cap
berbeda, yang akan berakibat timbulnya diskriminasi antar teman sepermainannya,
hal inilah yang seharusnya dapat di hindari agar perkawinan di bawah umur tidak
terjadi tanpa pertimbangan.
Kewajiban warga masyarakat serta
orang tua terhadap Anak-anak di nyatakan secara tegas di dalam pasal 20 UU ini
yang berbunyi “Negara, Pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua,
berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak”
pernyataan yang tegas tertulis dalam pasal tersebut pada kenyataanya dalam
kasus ini tidak dapat di jalankan, warga masyarakat yang mengikuti jalanya
perkawinan serta di jadikan saksi, penghulu yang bertindak sebagai orang yang
mengesahkan perkawinan, serta orang tua dari Lutfiana Ulfa, juga pemerintah
setempat tidak dapat mencegah lahirnya perkawinan Lutfiana Ulfa sebagai anak di
bawah umur, di sini sangat
terlihat bagaimana pihak-pihak yang seharusnya
berperan untuk menjunjung tingi hak Anak telah lalai menjalankan kewajibanya
sebagai warga masyarakat yang baik.
Orang Tua dari Lutfiana Ulfa yang
seharusnya menjadi pihak yang memiliki tanggung jawab penuh dan wajib menjaga
dan mendidik anaknya sesuai dengan
porsinya
sebagai orang tua telah melalaikan kewajibanya. Kelalaian yang di lakukan oleh
orang tua Lutfiana Ulfa akan mengakibatkan hukum melakukan tindakan sebagaimana
yang di nyatakan dalam pasal 26 dan pasal 30 ayat 1 yang menyatakan :
Pasal 26 : “orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anaknya
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan bakat dan minat serta kemampuanya
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak
Dan jika kewajiban Orang Tua yang di sebutkan dalam pasal 26 tersebut di langgar maka :
Di sebutkan dalam Pasal 30 ayat 1 : “ dalam hal orang tua sebagaimana di sebutkan dalam pasal 26 melalaikan kewajibanya terhadapnya dapat di lakukan tindakan pengawasan / kuasa asuh orang tua dapat di cabut”
Tindakan yang di sebutkan dalam pasa 30 ayat 1 tersebut sangat di sayangkan tidak dapat terjadi secara otomatis, harus melalui penetapan pengadilan yang sebelumnya harus di ajukan permohonan terlebih dahulu sesuai dengan pasal 30 ayat 2 dan pasal 31 ayat 1. Permohonan tersebut hanya dapat di ajukan oleh :
a. Salah satu orang tua
b. Sodara kandung
c. Atau keluarga sampai derajat ke tiga
Walaupun pengajuan permohonan hanya dapat di lakukan oleh pihak yang telah di sebutkan di atas masih dapat di adakanya dispensasi apabila pihak di atas tidak dapat atau tidak mau menjalankan funsinya dispensasi tersebut di atur dalam pasal
Pasal 26 : “orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anaknya
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan bakat dan minat serta kemampuanya
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak
Dan jika kewajiban Orang Tua yang di sebutkan dalam pasal 26 tersebut di langgar maka :
Di sebutkan dalam Pasal 30 ayat 1 : “ dalam hal orang tua sebagaimana di sebutkan dalam pasal 26 melalaikan kewajibanya terhadapnya dapat di lakukan tindakan pengawasan / kuasa asuh orang tua dapat di cabut”
Tindakan yang di sebutkan dalam pasa 30 ayat 1 tersebut sangat di sayangkan tidak dapat terjadi secara otomatis, harus melalui penetapan pengadilan yang sebelumnya harus di ajukan permohonan terlebih dahulu sesuai dengan pasal 30 ayat 2 dan pasal 31 ayat 1. Permohonan tersebut hanya dapat di ajukan oleh :
a. Salah satu orang tua
b. Sodara kandung
c. Atau keluarga sampai derajat ke tiga
Walaupun pengajuan permohonan hanya dapat di lakukan oleh pihak yang telah di sebutkan di atas masih dapat di adakanya dispensasi apabila pihak di atas tidak dapat atau tidak mau menjalankan funsinya dispensasi tersebut di atur dalam pasal
31 ayat 3 UU ini yang berbunyi : “Apabila para pihak
yang telah di sebutkan pada ayat 1 tidak dapat menjalankan Funsinya, maka dapat
di ajukan oleh pejabat yang berwenang atau lembaga lain yang memiliki
kewenangan untuk itu” pengaturan beberapa pasal di atas serta keringananya
bertujuan agar orang tua yang seharusnya menjadi pengasuh yang baik untuk
anaknya tidak melalaikan tanggung jawabnya, seperti yang telah di lakukan oleh
orang tua Lutfiana Ulfa terhadap anaknya.
sebelumnya telah di bahas bagaimana
seharusnya semua orang bertindak sesuai hokum yang berlaku dalam hal melindungi
hak Lutfiana Ulfa sebagai anak. Kewajiban dan tanggung jawab yang telah di
uraikan di atas bukan saja aturan yang tanpa sanksi yang tegas. Syekh Puji
sebagai pihak utama yang melanggar ketentuan dalam UU Perlindungan anak dapat
pula di kenakan sanksi yang di atur dalam pasal 77 A UU ini yang berbunyi
“setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan Diskriminasi terhadap anak
yang mengakibatkan seorang anak mengalami kerugian baik materil maupun moril
sehingga menghambat funsi sosialnya dapat di penjara paling lama 5 tahun dan
atau denda paling banyak Rp100.000.000. Ancaman hukuman di atas masih dapat di
beratkan apabila terbukti bahwa Syekh Puji dengan sengaja melakukan tipu
muslihat serta serangkain kebohongan atau membujuk anak di bawah umur agar mau
bersetubuh dengannya dengan dalil menikahinya maka sesuai dengan pasal 81 ayat
2 dapat di kenakan sanksi paling banyak 15 tahun penjara dan denda sebesar
Rp300.000.000,-.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perkawinan
adalah ikatan sakral penyatuan sepasang anak manusia dengan
konsekuensi hak dan kewajiban yang tidak mudah. Perkawinan bukanlah
hal yg mudah, di dalamnya terdapat banyak konsekuensi yang harus dihadapi
sebagai suatu bentuk tahap kehidupan baru individu dewasa.
Pernikahan usia muda adalah pernikahan yang dilakukan oleh remaja
di bawah umur (antara 13-18 tahun)
yang masih belum cukup matang baik fisik maupun psikologis, karena berbagai
faktor antara lain faktor ekonomi, sosial, budaya, penafsiran agama yang salah,
pendidikan, dan akibat pergaulan bebas. Individu yang menikah pada usia muda
akan cenderung bergantung pada orangtua secara finansial maupun emosional.
Perkawinan
usia tua adalah perkawinan yang dilakukan bila perempuan berumur lebih dari 35
tahun. Biasanya faktor yang mendorong manusia untuk menikah di usia tua adalah
faktor karir, pendidikan, dan ingin memilih pasangan yang ideal. Namun,
perkawinan di usia tua juga memiliki dampak positif, seperti kematangan fisik,
kematangan psikologis, sosial dan finansial. Sedangkan dampak negatifnya adalah
meningkatkan angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi, serta meningkatkan
resiko kehamilan dengan anak kelainan bawaan. Untuk mencegah terjadinya
perkawinan diusia tua adalah dengan cara melakukan penyuluhan, merubah cara
pandang budaya dan meningkatkan kegiatan sosialisasi. Sedangkan penanganannya
dilakukan dengan cara pengawasan kesehatan dan peningkatan kesehatan.
3.2
Saran
Jadi menikah
pada usia tua dan usia muda dapat menyebabkan dampak – dampak negatif, sehingga
menggangu keharmonisan keluarga dan berpengaruh pada kesehatan reproduksi yang
dapat mempengaruhi keturunan. Sebaiknya, pernikahan dilakukan pada usia yang
ideal, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif yang tidak kita inginkan.
DAFTAR PUSTAKA
DEPKES
RI,2003.Indikator Indonesia sehat 2010.Jakarta:Depkes RI.
Wiknjosastro,2007.Ilmu
kebidanan,Ed.3.Jakarta:YBP-SP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar