Rabu, 20 April 2016

KESEHATAN REPRODUKSI TENTANG : PERKAWINAN USIA MUDA DAN TUA




BAB I
PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang
 Perkawinan adalah ikatan sakral penyatuan sepasang anak manusia dengan konsekuensi hak daAn kewajiban yg tidak mudah. Mengingat tanggung jawabnya yg komplek maka dibutuhka kesiapan dan kedewasaan usia, mental, spiritual, dan kesiapan ekonom
Perkawinan bukanlah hal yang mudah, di dilamnya terdapat banyak konsekuensi yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk tahap kehidupan baru individu dewasa dan pergantian status lajang mjd seorg istri yg menuntut adanya penyesuaian diri terus menerus sepanjang perkawinan (Hurlock, 1993).
Individu yang memiliki kesiapan untuk menjalani kehidupan perkawinan akan lebih mudah menerima dan menghadapi segala konsekuensi persoalan yang timbul dalam perkawinan (Landis andLandis, 1963).
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita yang pada umumnya berasal dari lingkungan yang berbeda terutama dari lingkungan keluarga asalnya, kemudian mengikatkan diri untuk mencapai tujuan keluarga yang kekal dan bahagia. Maka dengan adanya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan berlakunya secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 yaitu sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mana dalam pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kedewasaan dalam hal Fisik dan rohani dalam perkawinan adalah merupakan dasar untuk mencapai tujuan dan cita-cita dari perkawinan, walaupun demikian masih banyak juga anggota masyarakat kita yang kurang memperhatikan atau menyadarinya. Hal ini disebabkan adanya pengaruh lingkungan dan perkembangan sosial yang tidak memadai. Perkawinan tersebut


harus ada persetujuan, dari kedua belah pihak calon mempelai secara sukarela tanpa ada paksaan dari pihak lain.
Hal ini demi kebahagiaan hidup yang diinginkan dalam perkawinan tersebut. Segala sesuatu yang akan dilaksanakan perlu direncanakan dahulu agar membuahkan hasil yang baik, demikian pula dengan hidup berkeluarga (perkawinan). Salah satu yang perlu direncanakan sebelum berkeluarga atau menikah adalah berapa usia yang pantas bagi seorang pria maupun seorang wanita untuk melangsungkan pernikahan.
Menurut ketentuan pasal 7 ayat (1) undang-undang no.1 tahun 1974 “bahwa perkawinan itu hanya di ijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun dalam ketentuan ayat (2) undang-undang No.1 tahun 1974 menyatakan dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita. Degan demikian perkawinan usia muda ini adalah perkawinan yang para pihaknya masih relative muda.
Reproduksi adalah suatu proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian hidup.
Masalah perkawinan dan kehamilan dini  ketidakmatangan secara fisik dan mental. Risiko komplikasi dan kematian ibu dan bayi lebih besar, kehilangan kesempatan untuk pengembangan diri remaja. Risiko untuk melakukan aborsi yang tidak aman.

1.2     Rumusan Masalah
1.2.1     Apa itu perkawinan ?
1.2.2     Bagaimana perkawinan usia muda?
1.2.3    Bagaimana perkawinan usia tua ?

 

1.3   Tujuan
1.3.1      Untuk memenuhi tugas mata kuliah kesehatan reproduksi.
1.3.2      Untuk memberikan informasi terhadap pembaca tentang materi yang     disajikan.

1.4   Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini, yaitu:

1.4.1    Manfaat bagi penyusun :
     Agar penyusun bisa mengembangkannya kepada orang lain tentang“perkawinan usia muda dan tua”

1.4.2         Manfaat bagi pembaca :
     Agar pembaca mendapat ilmu lebih banyak mengenai “perkawinan usia muda dan tua”

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkawinan
2.1.1   Pengertian perkawinan
Perkawinan adalah lambang disepakatinya suatu perjanjian (akad) antara seorang laki-laki dan perempuan (dalam masyarakat tradisional hal itu juga merupakan perjanjian antar keluarga) atas dasar hak dan kewajiban yang setara antara kedua belah pihak. Penyerahan diri total seorang perempuan kepada laki-laki. Peristiwa saat seorang ayah secara resmi menyerahkan anak perempuannya kepada laki-laki untuk “dipakai” sesuka hati laki-laki itu.
Perkawinan adalah ikatan batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU Perkawinan No 1 tahun 1974).
Tujuan Perkawinan adalah secara hukum mengesahkan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. untuk secara hukum mengatur hak dan kewajiban masing-masing termasuk di dalamnya pelarangan atau penghambatan terjadinya poligami. Untuk pendataan dan kepentingan demografi.
Perkawinan adalah ikatan sakral penyatuan sepasang anak manusia dengan konsekuensi hak dan kewajiban yang tidak mudah. Mengingat tanggung jawabnya yang kompleks maka dibutuhkan kesiapan dan kedewasaan usia, mental, spiritual, dan kesiapan ekonomi.  
Perkawinan bukanlah hal yg mudah, di dalamnya terdapat banyak konsekuensi yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk tahap kehidupan baru individu dewasa dan pergantian status lajang menjadi seorang istri ygmenuntut adanya penyesuaian diri terus menerus sepanjang perkawinan (Hurlock, 1993).
Individu yang memiliki kesiapan untuk menjalani kehidupan perkawinan akan lebih mudah menerima dan menghadapi segala konsekuensi persoalan yang timbul dalam perkawinan (Landis and Landis, 1963).



2.1.2     Tujuan perkawinan

a)      Untuk secara hukum mengesahkan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan
b)      Untuk secara hukum mengatur hak dan kewajiban masing-masing termasuk didalamnya pelarangan atau penghambatan terjadinya poligami
c)      Pengakuan hak hukum anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut
d)     Untuk pendataan dan kepentingan demografi
2.2     Perkawinan usia muda
Menurut UU perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 7 bahwa perkawinan diijinkan bila laki-laki berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun.Namun pemerintah mempunyai kebijakan tentang perilaku reproduksi manusia yang ditegaskan dalam UU No 10 tahun 1992 yang menyebutkan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan upaya penyelenggaraan keluarga berencana,perkawinan diijinkan bila laki-laki
berumur 21 tahun dan perempuan berumur 19 tahun.sehingga perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan bila pria berumur kurang dari 21 tahun dan perempuan berumur kurang dari 19 tahun.
 2.2.1 Resiko Perkawinan Usia Muda
Konflik dalam perkawinan usia muda :
1. Masalah kesehatan reproduksi
2. Segi ekonomi
3. Kurangnya kesabaran atau belum matang secara emosi.
4. Kurangnya persiapan untuk hamil dalam usia muda,  juga berkaitan dengan defisiensi asam folat dalam tubuh.
Akibat kekurangan asam folat, janin dapat menderita spina bifida atau janin tidak memiliki batok kepala.



Ibu usia muda kemungkinan untuk memiliki anak dengan :
1.       berat bayi rendah.
2.        kurang gizi.
3.       anemia
Ibu muda ini juga memiliki kemungkinan untuk menderita kanker servik nantinya.
Istri usia muda sering mengalami kebebasan dan otonomi yang terbatas dan tidak mampu kompromi mengenai :
1.      relasi,  
2.      seksual,
3.      penggunaan kontrasepsi,
4.      kehamilan, dan
5.      hal-hal lain di kehidupan berkeluarga.
Ketidakmampuan kompromi mengenai penggunaan kondom menempatkan mereka pada posisi rentan untuk tertular IMS dan HIV/AIDS.
Setelah menikah, perempuan muda biasanya terpaksa meninggalkan keluarga, teman, dan lingkungannya untuk pindah ke lingkungan suami. Kehilangan dukungan sosial dan putus sekolah akan menganggu proses pendidikannya. Dengan keterbatasan, perempuan akan terisolasi dan sulit menerima informasi mengenai kesehatan reproduksi. Mereka sering kali tidak berdaya mengakses pelayanan kesehatan masyarakat.
Mereka juga  perlu izin untuk mendapatkan pelayanan dan umumnya tidak mampu membayar pelayanan kesehatan. Pernikahan anak adalah pelanggaran hak seksual dan reproduksi termasuk hak untuk :
1.      Mendapatkan standar tertinggi kesehatan seksual
2.      Bebas dari paksaan, diskriminasi, kekerasan, dan pelecehan
3.      Relasi seksual yang disepakati bersama
4.      Kehidupan seksual yang aman
5.      Memiliki pasangan dan pernikahannya
6.      Mendapat informasi dan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi

7.      Menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah, jarak dan waktu memiliki anak dan mendapat informasi tentang itu
8.      Mendapat pelayanan reproduksi dan seksual
2.2.2 Dampak yang terjadi karena perkawinan usia muda:
1. Kesehatan perempuan
a)      Kehamilan dini dan kurang terpenuhinya gizi bagi dirinya sendiri
b)      Resiko anemia dan meningkatnya angka kejadian depresi
c)      Beresiko pada kematian usia dini
d)     Meningkatkan Angka Kematian Ibu (AKI)
e)      Semakin muda wanita memiliki anak pertama, semakin rentan terkena kanker serviks.
Resiko terkena penyakit menular seksual
2. Kualitas anak
a)      Bayi berat lahir rendah (BBLR) sangat tinggi, adanya kebutuhan nutrisi yang harus lebih banyak untuk kehamilannya dan kebutuhan pertumbuhan ibu sendiri
b)      Bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang berusia dibawah 18 tahun rata-rata lebih kecil dan bayi dengan BBR memiliki kemungkinan 5-30x lebih tinggi untuk meninggal
3. Keharmonisan keluarga dan perceraian
a)      Banyaknya pernikahan usia muda berbanding lurus dengan tingginya angka perceraian.
b)      Banyaknya kasus perceraian merupakan dampak dari mudanya usia pasangan bercerai ketika memutuskan untuk menikah.
c)      Perselingkuhan.
d)     Ketidakcocokan hubungan dengan orang tua maupun mertua.
e)      Psikologis yang belum matang, sehingga cenderung labil dan emosional.
f)       Kurang mampu untuk bersosialisasi dan adaptasi.


2.2.3  Upaya pencegahan terjadinya pernikahan usia muda
a)      Undang-undang perkawinan
b)      Bimbingan kepada remaja dan menjelaskan tentang sex education
c)      Memberikan penyuluhan kepada orang tua dan masyarakat

d)     Bekerja sama dengan tokoh agama dan masyarakat
e)      Model desa percontohan pendewasaan usia perkawinan
2.2.4  Penanganan perkawinan usia muda :
a)      Pendewasaan usia pernikahan sehingga kehamilan pada waktu usia reproduksi sehat.
b)      Bimbingan psikologis, hal ini dimaksudkan untuk membantu pasangan dalam menghadapi persoalan-persoalan agar mempunyai cara pandang dengan pertimbangan kedewasaan, tidak mengedepankan emosi.
c)      Dukungan keluarga. Peran keluarga sangat banyak membantu keluarga muda baik dukungan berupa material maupun non material untuk kelanggengan keluarga, sehingga lebih tahan terhadap hambatan-hambatan yang ada.
d)     Peningkatan kesehatan dengan peningkatan pengetahuan kesehatan, perbaikan gizi bagi istri yang mengalami kurang gizi.
2.3   Perkawinan usia tua
Perkawinan usia tua adalah perkawinan yang dilakukan bila perempuan berumur lebih dari 35 tahun.
2.3.1  Alasan pernikahan usia tua :
a)      Karir. Karir adalah faktor penentu utama kenapa seseorang memutuskan untuk menikah pada usia yang relative sudah matang, sekarang ini banyak perusahaan memakai persyaratan khusus untuk masuk menjadi karyawan misalnya dengan status harus masih single, hal ini sangatlah mudah terutama bagi mereka yang memang menginginkan suatu pekerjaan tertentu sehingga tanpa mereka sadari mereka telah melewatkan masa – masa yang tepat untuk mereka bereproduksi.
b)      Pendidikan. Faktor kedua adalah pendidikan, biasanya orang dengan pendidikan tinggi cenderung menikah bukan pada saat usia masih muda karena cara berpikir mereka tidak lagi sama dengan orang – orang yang masih menganggap bahwa wanita segera menikah.

c)      Ingin mendapatkan pasangan yang ideal. Faktor lain yang tidak kalah menarik adalah sebagian besar dari mereka menginginkan pasangan yang ideal atau memiliki derajat yang seimbang atau bahkan jika bagi sebagian perempuan penghasilan laki-laki harus lebih tinggi dari perempuan karena suatu saat mereka harus mencukupi kebutuhan istri dan anak-anak. Sedang pihak laki-laki berpikir mereka akan mencari pasangan yang lebih muda.
2.3.2   Kelebihan perkawinan usia tua :
a)      Kematangan fisik. Secara fisik karena usia yang sudah tua maka alat – alat reproduksi mereka sudah siap atau sudah matang jika terjadi adanya pembuahan, namun hal ini juga menjadi sebuah dilemma tersendiri dimana semakin tua usia seseorang maka secara fisik mereka juga akan mengalami perubahan – perubahan fisiologis.
b)      Kematangan psikologis. Diawal telah dibahas bahwa secara psikologis seorang anak remaja dan dewasa memiliki tingkatan yang berbeda sehingga hal ini bisa menjadi modal dasar untuk membangun sebuah
c)      keluarga karena mereka sudah siap dengan perkawinan itu sendiri.
d)     Social
e)      Financial sehingga harapan membentuk keluarga sejahtera berkualitas terbentang.
2.3.3   Kekurangan pernikahan usia tua:
a.       Meningkatkan angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi.kemungkinan atau resiko terjadi CA mamae meningkat .
b.      Meningkatnya resiko kehamilan dengan anak kelainan bawaan,misalnya terjadi kromoson non disjunction yaitu kelain meiosis basil konsepsi (fetus)sehingga menghasilkan kromoson sejumlah 47.aneuploidy,yaitu ketika kromoson basil konsepsi tidak tepat  23 pasang.
Contohnya trisomi 21 (down syndrome).trisomi 13(patau syndrome) dan trisome 18 (edwards syndrome).

2.3.4  Pencegahan perkawinan usia tua:
a)      Penyuluhan kesehatan untuk menikah pada usia reproduksi sehat.
b)      Merubah cara pandang budaya atau cara pandang diri yang tidak mendukung.
c)      Meningkatkan kegiatan sosialisasi.
2.3.5  Penanganan perkawinan usia tua :
a)      Pengawasan kesehatan, ANC secara teratur pada tenaga kesehatan.
b)      Peningkatan kesehatan dengan peningkatan pengetahuan kesehatan, perbaikan gizi bagi istri yang mengalami kurang gizi.
c)       
2.4   kasus perkawinan usia muda dan tua
2.4.1  Perkawinan Syekh puji dan lutfiana ulva
Pujiono Cahyo Widianto seorang laki-laki kelahiran 4 Agustus 1965 yang saat ini telah berusia 43 tahun yang lebih di kenal dengan sebutan Syekh Puji, pemilik Perusahaan Pengrajin Kuningan PT.Sinar Lendoh Lestari (SILENTER) juga sebagai pemilik Pondok Pesantren Miftahul Jannah telah menikahi seorang gadis di bawah umur yaitu Lutfiana Ulfa yang saat ini baru berusia 12 tahun. Setatus Lutfiana Ulfa yang di nikahi oleh Syekh Puji adalah istri ke dua dari Syekh Puji, pernikahanya dengan Ulfa telah di langsungkan pada tanggal 8 Agustus 2008 yang berlangsung pada pukul 03.03 dini hari, dan di langsungkan secara agama. Selain Lutfiana Ulfa Syech Puji berencana akan menikahi 2 orang gadis di bawah umur lagi yang masih berusia 7 dan 9 tahun. Alas an pernikahan yang di lakukan oleh Syekh Puji karena tidak melanggar Hukum Islam, serta akan mendidik istrinya untuk di persiapkan menjadi Manager di perusahaanya yaitu PT.SILENTER, Syekh Puji beranggapan bahwa akan sangat mudah untuk

mendidik anak kecil agar dapat di persiapkan menjadi Manager Perusahaanya. Dasar agama yang di kemukakan oleh Syekh Puji untuk menikahi Ulfa adalah di karenakan Nabi Muhammad dahulu juga menikahi seorang anak di bawah umur, yang saat itu berusia 7 tahun dan bernama Aisyah. Pernikahan Syekh Puji yang tidak wajar tersebut mendapat kecaman dari banyak pihak serta di anggap telah
melanggar 2 Undang-undang yaitu UU perkawinan 9UU No 1 Tahun 74) serta UU Perlindungan Anak (UU No 23 Tahun 2002). Karena tindakan tersebut merupakan tindakan melawan hokum Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi atau akrab di panggil Kak Seto bertemu dengan Syekh Puji pada tanggal 28 Oktober 2008, hasil dari pertemuan tersebut adalah kesediaanya Syekh Puji untuk mengembalikan Ulfa kepada Orang Tuanya serta membatalkan pernikahanya dengan Ulfa. Tindakan yang di lakukan oleh Syekh Puji jelas akan merugikan Ulfa sebagai anak di bawah umur, pendapat pakar di bidang medis Dokter Specialis Obstetri dan Ginekologi dr.Derajat Mucharram Sastrawikarta.Sp.Og menyatakan bahwa, pernikahan dengan anak perempuan yang berusia antara 9 sampai dengan 12 tahun sangat tidak lazim, di karenakan kematangan Fisik seorang anak tidak sama dengan kematangan Psikologinya, sehingga walaupun anak tersebut telah Menstruasi, secara mental ia belum siap untuk dapat berhubungan seksual, kehamilan pun dapat saja terjadi pada anak berusia 12 tahun tetapi selai psikologinya belum siap, kemungkinan lain akan mempengaruhi janin yang di kandungnya, posisi bayi tidak akan lurus di perut ibunya, selain itu sel telur yang di miliki anak-anak belum matang sepenuhnya, serta belum dapat di katakana berkwalitas yang di khawatirkan dapat menimbulkan kelainan kromosom pada bayi yang akan berakibat ketidak normalan fisik bayi. Banyaknya hal-hal yang merugikan yang akan timbul dari pernikahan seorang yang masih di bawah umur manjadi pertimbangan yang harus di perhatikan oleh masyarakat maupun LSM yang bergerak di bidang perlindungan Hak Anak.
Analisis Hukum

DI PANDANG DARI UU NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
Lutfiana Ulfa sebagai wanita yang di nikahi oleh Syekh puji untuk di jadikan Istri ke dua dalam UU Perlindungan Anak masih di kategorikan sebagai Anak. Hal tersebut dapat di lihat dalam Pasal 1 ayat 1 UU No 23 tahun 2002 yang berbunyi
“Anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan” telah sangat jelas di sebutkan batasan umur dari seorang yang belum di nyatakan dewasa, dan masih di pandang sebagai Anak, yaitu seorang yang belum berusia 18 tahun, sesuai dengan yang di tetapkan dalam UU ini.
Di dalam pasal 4 di sebutkan bahwa : “setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” hal ini adalah dasar, bagaimana hak seorang anak harus di utamakan sesuai dengan porsinya tanpa di halangi dengan hal apapun. Pernikahan yang di langsungkan terhadap seorang anak, akan membatasi gerak anak tersebut, yang di sebabkan adanya ikatan perkawinan, walaupun pihak suami tidak membatasi pergerakan anak yang telah di nikahinya label yang telah tertanam di mata teman-teman sebaya anak tersebut akan di cap berbeda, yang akan berakibat timbulnya diskriminasi antar teman sepermainannya, hal inilah yang seharusnya dapat di hindari agar perkawinan di bawah umur tidak terjadi tanpa pertimbangan.
Kewajiban warga masyarakat serta orang tua terhadap Anak-anak di nyatakan secara tegas di dalam pasal 20 UU ini yang berbunyi “Negara, Pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua, berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak” pernyataan yang tegas tertulis dalam pasal tersebut pada kenyataanya dalam kasus ini tidak dapat di jalankan, warga masyarakat yang mengikuti jalanya perkawinan serta di jadikan saksi, penghulu yang bertindak sebagai orang yang mengesahkan perkawinan, serta orang tua dari Lutfiana Ulfa, juga pemerintah setempat tidak dapat mencegah lahirnya perkawinan Lutfiana Ulfa sebagai anak di bawah umur, di sini sangat

 terlihat bagaimana pihak-pihak yang seharusnya berperan untuk menjunjung tingi hak Anak telah lalai menjalankan kewajibanya sebagai warga masyarakat yang baik.
Orang Tua dari Lutfiana Ulfa yang seharusnya menjadi pihak yang memiliki tanggung jawab penuh dan wajib menjaga dan mendidik anaknya sesuai dengan
 porsinya sebagai orang tua telah melalaikan kewajibanya. Kelalaian yang di lakukan oleh orang tua Lutfiana Ulfa akan mengakibatkan hukum melakukan tindakan sebagaimana yang di nyatakan dalam pasal 26 dan pasal 30 ayat 1 yang menyatakan :
Pasal 26 : “orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anaknya
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan bakat dan minat serta kemampuanya
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak
Dan jika kewajiban Orang Tua yang di sebutkan dalam pasal 26 tersebut di langgar maka :
Di sebutkan dalam Pasal 30 ayat 1 : “ dalam hal orang tua sebagaimana di sebutkan dalam pasal 26 melalaikan kewajibanya terhadapnya dapat di lakukan tindakan pengawasan / kuasa asuh orang tua dapat di cabut”
Tindakan yang di sebutkan dalam pasa 30 ayat 1 tersebut sangat di sayangkan tidak dapat terjadi secara otomatis, harus melalui penetapan pengadilan yang sebelumnya harus di ajukan permohonan terlebih dahulu sesuai dengan pasal 30 ayat 2 dan pasal 31 ayat 1. Permohonan tersebut hanya dapat di ajukan oleh :
a. Salah satu orang tua
b. Sodara kandung
c. Atau keluarga sampai derajat ke tiga
Walaupun pengajuan permohonan hanya dapat di lakukan oleh pihak yang telah di sebutkan di atas masih dapat di adakanya dispensasi apabila pihak di atas tidak dapat atau tidak mau menjalankan funsinya dispensasi tersebut di atur dalam pasal

31 ayat 3 UU ini yang berbunyi : “Apabila para pihak yang telah di sebutkan pada ayat 1 tidak dapat menjalankan Funsinya, maka dapat di ajukan oleh pejabat yang berwenang atau lembaga lain yang memiliki kewenangan untuk itu” pengaturan beberapa pasal di atas serta keringananya bertujuan agar orang tua yang seharusnya menjadi pengasuh yang baik untuk anaknya tidak melalaikan tanggung jawabnya, seperti yang telah di lakukan oleh orang tua Lutfiana Ulfa terhadap anaknya.
sebelumnya telah di bahas bagaimana seharusnya semua orang bertindak sesuai hokum yang berlaku dalam hal melindungi hak Lutfiana Ulfa sebagai anak. Kewajiban dan tanggung jawab yang telah di uraikan di atas bukan saja aturan yang tanpa sanksi yang tegas. Syekh Puji sebagai pihak utama yang melanggar ketentuan dalam UU Perlindungan anak dapat pula di kenakan sanksi yang di atur dalam pasal 77 A UU ini yang berbunyi “setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan seorang anak mengalami kerugian baik materil maupun moril sehingga menghambat funsi sosialnya dapat di penjara paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp100.000.000. Ancaman hukuman di atas masih dapat di beratkan apabila terbukti bahwa Syekh Puji dengan sengaja melakukan tipu muslihat serta serangkain kebohongan atau membujuk anak di bawah umur agar mau bersetubuh dengannya dengan dalil menikahinya maka sesuai dengan pasal 81 ayat 2 dapat di kenakan sanksi paling banyak 15 tahun penjara dan denda sebesar Rp300.000.000,-.


BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Perkawinan adalah ikatan sakral penyatuan sepasang anak manusia dengan konsekuensi hak dan kewajiban yang tidak mudah. Perkawinan bukanlah hal yg mudah, di dalamnya terdapat banyak konsekuensi yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk tahap kehidupan baru individu dewasa.
Pernikahan usia muda adalah pernikahan yang dilakukan oleh remaja di bawah umur (antara 13-18 tahun) yang masih belum cukup matang baik fisik maupun psikologis, karena berbagai faktor antara lain faktor ekonomi, sosial, budaya, penafsiran agama yang salah, pendidikan, dan akibat pergaulan bebas. Individu yang menikah pada usia muda akan cenderung bergantung pada orangtua secara finansial maupun emosional.
Perkawinan usia tua adalah perkawinan yang dilakukan bila perempuan berumur lebih dari 35 tahun. Biasanya faktor yang mendorong manusia untuk menikah di usia tua adalah faktor karir, pendidikan, dan ingin memilih pasangan yang ideal. Namun, perkawinan di usia tua juga memiliki dampak positif, seperti kematangan fisik, kematangan psikologis, sosial dan finansial. Sedangkan dampak negatifnya adalah meningkatkan angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi, serta meningkatkan resiko kehamilan dengan anak kelainan bawaan. Untuk mencegah terjadinya perkawinan diusia tua adalah dengan cara melakukan penyuluhan, merubah cara pandang budaya dan meningkatkan kegiatan sosialisasi. Sedangkan penanganannya dilakukan dengan cara pengawasan kesehatan dan peningkatan kesehatan.
3.2     Saran
Jadi menikah pada usia tua dan usia muda dapat menyebabkan dampak – dampak negatif, sehingga menggangu keharmonisan keluarga dan berpengaruh pada kesehatan reproduksi yang dapat mempengaruhi keturunan. Sebaiknya, pernikahan dilakukan pada usia yang ideal, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif yang  tidak kita inginkan.

DAFTAR PUSTAKA

DEPKES RI,2003.Indikator Indonesia sehat 2010.Jakarta:Depkes RI.
Wiknjosastro,2007.Ilmu kebidanan,Ed.3.Jakarta:YBP-SP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar